Bolehkah Orang dengan HIV Positif Menikah dan Punya Anak? Ini Fakta dan Aturannya
Ilustrasi pernikahan (Istimewa)

Showbizline – Pernikahan adalah momen sakral yang diimpikan banyak orang, termasuk mereka yang hidup dengan HIV atau ODHIV. Namun, ketika salah satu calon pasangan memiliki status HIV positif sementara yang lain negatif, apakah boleh?
Bisakah mereka menikah secara hukum? Apakah mereka juga boleh memiliki anak dengan tanpa menularkan virus berbahaya tersebut? Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut hadir di benak banyak orang.
Secara umum, status HIV bukan menjadi halangan untuk menjalani pernikahan. Di Indonesia, tidak ada larangan hukum bagi pasangan dengan status HIV berbeda untuk menikah.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat utama pernikahan adalah kesepakatan kedua calon mempelai, kecakapan hukum, dan tidak dalam hubungan yang dilarang (seperti saudara kandung).
Namun, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 52 Tahun 2017** tentang Penanggulangan HIV/AIDS menyebutkan bahwa ‘Setiap orang yang terinfeksi HIV wajib memberitahukan status HIV-nya kepada pasangan atau calon pasangan seksualnya.
Artinya, transparansi adalah kunci dalam pernikahan tersebut. Pasangan berhak mengetahui status HIV masing-masing sebelum menikah, tetapi keputusan akhir tetap di tangan mereka.
Bisakah Pasangan Serodiskordan (HIV+/HIV-) Punya Anak?
Pasangan dengan status HIV berbeda disebut pasangan serodiskordan. Kabar baiknya, mereka tetap bisa memiliki anak dengan risiko penularan yang sangat kecil, asalkan mengikuti protokol medis yang tepat.
a. Pencegahan Penularan ke Pasangan
- Terapi Antiretroviral (ARV) – Orang dengan HIV (ODHIV) yang rutin minum ARV dapat menekan jumlah virus hingga tidak terdeteksi (undetectable). Menurut WHO dan UNAIDS, jika viral load tidak terdeteksi, risiko penularan HIV ke pasangan hampir nol (prinsip U=U: Undetectable = Untransmittable).
- Penggunaan Kondom – Tetap dianjurkan untuk mencegah penularan, terutama jika viral load belum turun.
- PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis) – Pasangan negatif HIV bisa mengonsumsi obat PrEP untuk mengurangi risiko tertular.
b. Memiliki Anak Tanpa Menularkan HIV
- Program Kehamilan dengan Bantuan Medis – Dokter dapat membantu dengan metode:
- Pemrosesan Sperma (Sperm Washing) – Jika suami positif HIV, sperma dibersihkan dari virus sebelum digunakan dalam inseminasi buatan.
- IVF (In Vitro Fertilization) – Meminimalkan risiko penularan dengan pembuahan di luar rahim.
- Persalinan Aman – Ibu HIV+ disarankan melahirkan melalui sesar untuk mengurangi risiko penularan ke bayi.
- Pemberian ARV pada Bayi – Bayi yang lahir dari ibu HIV+ akan diberikan obat ARV selama beberapa minggu untuk mencegah infeksi.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, dengan penanganan tepat, risiko penularan HIV dari ibu ke anak bisa turun di bawah 2%.
Stigma dan Dukungan untuk Pasangan Serodiskordan
Meski secara medis dan hukum memungkinkan, stigma sosial masih menjadi tantangan. Banyak pasangan serodiskordan menghadapi penolakan keluarga atau diskriminasi.
Organisasi seperti ODHA Berhak Sehat dan Bahagia (OBS) dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) terus mengedukasi masyarakat bahwa:
- HIV tidak menular melalui pelukan, ciuman, atau berbagi makanan.
- ODHIV yang minum ARV teratur bisa hidup sehat seperti orang lain.
- Anak dari pasangan serodiskordan bisa lahir tanpa HIV.
Kesimpulannya adalah, orang dengan HIV (ODHIV) boleh menikah karena tidak ada larangan hukum, asalkan ada kejujuran antara pasangan. Mereka juga bisa punya anak, dengan terapi ARV, PrEP, dan bantuan medis, risiko penularan bisa diminimalkan.
Selain itu, dukungan penting berupa edukasi dan akses layanan kesehatan membuat hidup pasangan serodiskordan lebih baik.
Jika Anda atau pasangan berada dalam situasi ini, konsultasikan dengan dokter spesialis HIV atau klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) terdekat untuk rencana terbaik.