Tut Wuri Handayani di Era Digital, Saatnya Guru Menjadi Inspirasi Bukan Menggurui
Showbizline – Slogan legendaris Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberi dorongan, merupakan warisan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Meski dicetuskan lebih dari seabad lalu, makna mendalam […]

Showbizline – Slogan legendaris Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberi dorongan, merupakan warisan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Meski dicetuskan lebih dari seabad lalu, makna mendalam dalam semboyan ini tetap relevan, bahkan semakin penting di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan saat ini.
Tut Wuri Handayani adalah bagian dari trilogi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Trilogi tersebut adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Filosofi ini menggambarkan peran pendidik sebagai fasilitator, bukan diktator. Seorang guru tidak selalu berada di depan untuk mengatur, tetapi hadir mendampingi dan mendorong peserta didik untuk tumbuh secara mandiri.
Transformasi Peran Guru di Era Digital
Menurut laporan UNESCO (2023), digitalisasi telah mengubah cara belajar generasi muda. Mereka kini lebih aktif mencari informasi secara mandiri melalui platform digital seperti YouTube, Google, berbagai aplikasi pembelajaran, bahkan aplikasi berbasis AI.
Dalam konteks ini, peran guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu, tetapi sebagai pembimbing yang mengarahkan proses belajar.
Inilah bentuk modern dari Tut Wuri Handayani, di mana guru memberi ruang eksplorasi, memberikan feedback personal, dan menumbuhkan self-directed learning.
Platform seperti Google Classroom, Ruangguru, Zenius, hingga AI generatif seperti ChatGPT, menjadi alat bantu yang harus diintegrasikan secara bijak.
Pembelajaran Mandiri dan Literasi Digital
Studi dari McKinsey (2022) menunjukkan bahwa siswa yang dilatih belajar mandiri cenderung memiliki daya saing lebih tinggi dalam dunia kerja digital.
Di sinilah pentingnya pendekatan Tut Wuri Handayani, mendorong siswa untuk tidak sekadar menerima informasi, tetapi mengolah, menganalisis, dan mengambil keputusan secara mandiri.
Namun, tantangan juga datang. Tanpa literasi digital yang kuat, siswa rentan terhadap informasi palsu (hoaks), plagiarisme, atau distraksi digital.
Maka, tugas pendidik modern adalah menanamkan etika digital, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan mendampingi proses belajar tanpa harus mendikte.
Mendorong Inovasi dan Kreativitas Siswa
Dalam pendekatan student-centered learning, peran guru adalah mendorong siswa untuk berani berpikir kreatif dan mengambil inisiatif. Ini sejalan dengan semangat Tut Wuri Handayani.
Misalnya memberi kebebasan memilih topik proyek, mengarahkan penggunaan teknologi untuk presentasi atau penelitian, juga memberikan umpan balik yang membangun, bukan menghakimi.
Prinsip ini mendukung profil pelajar Pancasila, yaitu siswa yang mandiri, kreatif, dan mampu berpikir kritis—yang kini menjadi arah baru Kurikulum Merdeka.
Sebagai penutup, sudah saatnya guru menjadi pendidik yang menginspirasi, bukan menggurui. Digitalisasi bukan ancaman, melainkan peluang untuk menerapkan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan cara yang lebih relevan.
Tut Wuri Handayani kini bukan sekadar semboyan, tapi menjadi panduan sikap bagi pendidik agar bisa menginspirasi dari belakang, memberi kepercayaan, dan membentuk generasi pembelajar sejati.