Home Feature & Community Diam-Diam Menyerah: Mengupas Fenomena Silent Quitting di Tempat Kerja
Feature & Community

Diam-Diam Menyerah: Mengupas Fenomena Silent Quitting di Tempat Kerja

Showbizline – Di balik meja kerja yang rapi dan senyum sopan di meeting Zoom, ada sebuah epidemi yang sedang menyebar diam-diam di dunia kerja modern. Mereka datang tepat waktu, menyelesaikan […]

Showbizline – Di balik meja kerja yang rapi dan senyum sopan di meeting Zoom, ada sebuah epidemi yang sedang menyebar diam-diam di dunia kerja modern.

Mereka datang tepat waktu, menyelesaikan tugas minimum, lalu pulang tepat pukul 17.00 tanpa antusiasme. Inilah wajah ‘silent quitting atau quiet quitting’ – pengunduran diri diam-diam yang menjadi gejala zaman sekarang.

Apa Sebenarnya Silent Quitting Itu?

Dr. Fajrianthi, psikolog dari Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa fenomena silent quiting ini merupakan reaksi terhadap stres kerja yang terakumulasi – mulai dari burnout, kepemimpinan buruk, hingga ketidakseimbangan hidup-kerja.

Fenomena ini bukan tentang benar-benar mengundurkan diri, melainkan bentuk penarikan diri emosional. Karyawan tetap bekerja, tetapi tanpa gairah atau komitmen lebih. Mereka seperti zombie korporat – hadir secara fisik tapi absen secara mental.

Generasi yang Berani Bilang ‘Cukup’

Data menunjukkan fenomena ini banyak terjadi pada milenial dan Gen Z. Hal tu kembali disampaikan oleh Fajrianthi mengenai alasan terjadinya fenomena yang terjai pada dua generasi tersebut.

“Generasi ini mencari makna dalam pekerjaan. Ketika tak ditemukan, mereka memilih menarik diri,” papar Fajrianthi.

Beberapa karakteristik pekerja yang rentan silent quitting adalah karyawan yang merasa tidak dihargai. Kemudian adalah mereka yang terjebak dalam budaya kerja toksik. Selanjutnya adalah pekerja dengan beban berlebihan tapi dukungan minim.

Ketika Perusahaan Lupa Manusiawi

Melalui lensa psikologi, ada tiga teori yang menjelaskan fenomena ini, yaitu:

  1. Engagement Theory: Keterlibatan emosional yang rendah memicu penarikan diri.
  2. Embeddedness Theory: Karyawan bertahan hanya karena kebutuhan ekonomi.
  3. JD-R Model: Ketimpangan antara tuntutan kerja dan sumber daya yang ada.

“Budaya organisasi yang kaku dan tidak transparan seperti racun lambat,” tegas Fajrianthi. “Sebaliknya, lingkungan yang mendukung bisa menjadi penawarnya.”

Dampak yang Mengkhawatirkan

Lebih lanjut, ketika bicara mengenai efek silent quitting, ia mengatakan bahwa hal itu tidak main-main. Karena akan berakibat produktivitas tim merosot, inovasi mandek, dan kesehatan mental karyawan terganggu.

Yang lebih berbahaya, ini bisa menjadi siklus – karyawan yang frustasi menularkan energi negatif ke rekan lainnya. Fajrianthi pun menawarkan beberapa solusi konkret.

Seperti dengan meningkatkan dukungan organisasi, dari feedback rutin hingga program wellness. Selanjutnya bisa dengan mengembangkan kepemimpinan yang empatik, di mana bos yang mendengar, bukan hanya memerintah.

Fleksibilitas kerja juga menjadi hal yang disarankannya, dan mengakui bahwa karyawan punya kehidupan di luar kantor.

“Karyawan bukan robot. Mereka butuh dihargai sebagai manusia seutuhnya,” pungkas Fajrianthi.

Fenomena silent quitting seharusnya menjadi refleksi untuk dunia kerja modern. Karena ini sebenarnya adalah alarm. Alarm yang mengatakan bahwa cara kita mengelola pekerjaan selama ini mungkin keliru.

Di era di mana ‘work-life balance’ jadi prioritas, perusahaan yang bertahan adalah yang memahami kebahagiaan karyawan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.

Previously

Gigi Hadid dan Bradley Cooper Resmi Go Public, Terpaut Usia 20 Tahun tak Jadi Halangan

Next

Luna Maya dan Maxime Bouttier Gelar Siraman Adat Jawa di Bali, Tayang Live Streaming

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Showbizline
advertisement
advertisement