Home Feature & Community Body Dysmorphic Disorder: Ketika Cermin Menjadi Musuh
Feature & Community

Body Dysmorphic Disorder: Ketika Cermin Menjadi Musuh

Showbizline – Pernah merasa tidak percaya diri dengan bentuk hidung? Atau terus-menerus mengkhawatirkan jerawat kecil yang sebenarnya hampir tak terlihat? Bisa jadi itu hal normal. Tapi ketika kekhawatiran ini menguasai […]

Showbizline – Pernah merasa tidak percaya diri dengan bentuk hidung? Atau terus-menerus mengkhawatirkan jerawat kecil yang sebenarnya hampir tak terlihat? Bisa jadi itu hal normal.

Tapi ketika kekhawatiran ini menguasai hidup sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, mungkin itu Body Dysmorphic Disorder (BDD) – gangguan mental serius yang membuat penderitanya terobsesi dengan ‘cacat’ fisik yang sebenarnya tidak ada.

Menurut Cleveland Clinic, 2 dari 3 penderita BDD mulai merasakan gejalanya sebelum usia 18 tahun, biasanya di kisaran 12-13 tahun. Meski begitu, gangguan ini bisa muncul di usia dewasa.

Fakta mengejutkannya adalah 1,7%-2,4% populasi dunia mengalami BDD, dan kaum perempuan lebih rentan dibanding laki-laki. BDD juga sering disalahartikan sebagai kepribadian perfeksionis atau terlalu peduli penampilan.

Apa Sebenarnya BDD Itu?

Mayo Clinic mendefinisikan BDD sebagai gangguan mental dimana penderita terus-menerus terfokus pada kekurangan fisik yang sebenarnya minor atau bahkan tidak ada sama sekali.

Yang membedakan BDD dari rasa tidak percaya diri biasa adalah, penderita benar-benar yakin ada yang salah dengan penampilannya. Kekhawatiran ini akhirnya menguras waktu berjam-jam setiap hari.

Dan tak jarang, penilaian diri yang berlebihan ini bisa menyebabkan penarikan diri dari sosialisasi. Dampak sosial pun akan terjadi seperti menolak keluar rumah karena malu, hubungan jadi tegang karena terus meminta validasi, juga performa kerja/sekolah menurun.

Akar Masalah: Mengapa Seseorang Bisa Mengalami BDD?

Para ahli belum menemukan penyebab pasti, tapi beberapa faktor berperan yaitu:

  • Cara Otak Memproses Gambar : Penderita BDD cenderung memperhatikan detail kecil secara berlebihan sambil mengabaikan gambaran keseluruhan.
  • Faktor Genetika : Memiliki keluarga dengan riwayat BDD atau OCD meningkatkan risiko.
  • Pengalaman Traumatis : Bullying di masa kecil.
  • Kritik terus-menerus tentang penampilan.
  • Tekanan sosial/media sosial yang mengagung-agungkan standar kecantikan tidak realistis.

Tanda-tanda BDD yang Sering Diabaikan

Beberapa hal bisa menjadi tanda bahwa seseorang mengalami BBD. Seperti adanya perilaku kompulsif. Penderita bisa saja mengecek cermin berkali-kali atau justru menghindari semua cermin sama sekali.

Kemudian skin picking (terus mengorek kulit) berlebihan, mengulang-ulang gerakan untuk ‘menyembunyikan’ cacat .

Bahkan ada pula tindakan ekstrem yang dilakukan oleh penderita BDD. Yaitu melakukan beberapa kali operasi plastik tapi tetap tidak puas, lalu mengalami gangguan makan dan memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Ya, BDD memang bukan hanya tindakan seseorang yang terlalu peduli pada penampilannya. Namun ada perbedaan mencolok dari insecurity biasa. Termasuk penderita yang bisa membuang waktu dengan percuma.

Hal itu karena penderita bisa menghabiskan 3-8 jam/hari hanya untuk mengkhawatirkan penampilan. Kemudian adanya keyakinan yang sulit diubah meski sudah diberi tahu bahwa tidak ada yang salah, namun penderita tetap yakin ada cacat.

Bukan Tentang Narsisme, Harus Mencari Bantuan

BDD bukan tentang kesombongan atau narsisme. Ini adalah gangguan kecemasan nyata yang membutuhkan penanganan serius. Kabar baiknya, dengan terapi yang tepat, penderita BDD bisa belajar menerima diri dan menjalani hidup yang lebih berkualitas

Karenanya, seorang dengan indikasi BDD, sangat disarankan untuk segera mencari bantuan. Beberapa indikasi tersebut di antaranya menghindari foto/foto selfie, sering bolos kerja/sekolah karena malu, sudah melakukan prosedur kosmetik berkali-kali tapi tetap tidak puas, dan mulai memiliki pikiran menyakiti diri sendiri.

Jika sudahada tanda-tanda sebagaimana disebukn di atas, segera konsultasi ke psikolog/psikiater. BDD bisa diatasi dengan terapi kognitif perilaku (CBT), obat-obatan, jika diperlukan, dan support group.

“BDD seperti berada di penjara yang dibangun oleh pikiran sendiri. Tapi kuncinya ada di tangan kita untuk membebaskan diri.” — Mantan Penderita BDD.

Previously

Galaxy S25 FE Segara Rilis? Ini Bocoran Terbaru Spesifikasinya!

Next

7 Tahun Bahagia! Potret Romantis Nadine Chandrawinata-Dimas Anggara Rayakan Anniversary

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Showbizline
advertisement
advertisement