Fenomena Brain Rot, Dampak Media Sosial terhadap Kemampuan Kognitif Otak
Brain rot bukanlah pembusukan otak secara harfiah, melainkan metafora untuk perubahan struktur otak akibat paparan konten media sosial yang tidak sehat.

Showbizline – Istilah brain rot (pembusukan otak) belakangan populer di kalangan psikolog dan peneliti neurosains untuk menggambarkan dampak negatif media sosial terhadap fungsi kognitif.
Fenomena ini merujuk pada penurunan kemampuan berpikir kritis, konsentrasi, dan daya ingat akibat kebiasaan mengonsumsi konten digital yang instan, fragmentaris, dan berlebihan.
Mengutip artikel dari Kanal Psikologi UGM, dijelaskan bahwa brain rot bukanlah pembusukan otak secara harfiah, melainkan metafora untuk perubahan struktur otak akibat paparan konten media sosial yang tidak sehat.
Apa Itu Brain Rot?

Brain rot adalah istilah yang menggambarkan bagaimana otak mengalami penurunan fungsi akibat kebiasaan buruk dalam mengonsumsi media digital. Gejalanya meliputi:
Gangguan Konsentrasi – Sulit fokus dalam waktu lama karena terbiasa dengan konten pendek seperti TikTok atau Reels.
Penurunan Kemampuan Membaca Mendalam – Generasi muda kesulitan membaca teks panjang karena terbiasa dengan informasi instan.
Kecanduan Dopamin – Media sosial dirancang untuk memberikan instant gratification, memicu pelepasan dopamin berlebihan yang membuat pengguna terus-menerus mencari stimulasi baru.
Gangguan Memori – Informasi yang diproses secara dangkal tidak tersimpan baik dalam memori jangka panjang.
Penyebab Brain Rot: Peran Media Sosial

Konten Pendek dan Fragmentaris
Platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts mendorong konsumsi konten dalam durasi singkat (15-60 detik).
Menurut penelitian Microsoft (2015), rata-rata rentang perhatian manusia turun dari 12 detik (2000) menjadi 8 detik—lebih pendek dari ikan mas (9 detik).
Otak yang terbiasa dengan stimulasi cepat kesulitan beradaptasi dengan tugas yang membutuhkan fokus lama, seperti membaca buku atau menyelesaikan pekerjaan kompleks.
Overstimulasi Visual dan Auditori
Media sosial membanjiri otak dengan gambar, suara, dan teks secara bersamaan. Studi University of California menemukan bahwa multitasking digital mengurangi efisiensi otak hingga 40%.
Akibatnya, otak kehilangan kemampuan untuk berpikir mendalam (deep thinking).
Algorithmic Feed yang Membuat Ketagihan
Algoritma media sosial dirancang untuk memicu doomscrolling—kebiasaan terus menggulir konten tanpa henti.
Laporan WHO (2022) menyebutkan bahwa 5-10% pengguna internet mengalami kecanduan digital, dengan gejala mirip kecanduan narkoba, seperti gelisah saat tidak mengakses media sosial.
Penurunan Kualitas Tidur
Paparan cahaya biru dari gawai mengganggu produksi melatonin, hormon pengatur tidur. Sleep Foundation melaporkan bahwa 90% orang menggunakan ponsel sebelum tidur, menyebabkan insomnia dan penurunan fungsi otak keesokan harinya.
Dampak Jangka Panjang Brain Rot
Penurunan IQ – Studi Stanford University (2021) menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan >4 jam/hari di media sosial mengalami penurunan skor IQ verbal.
Gangguan Mental – American Psychological Association (APA) mengaitkan penggunaan media sosial berlebihan dengan peningkatan kecemasan, depresi, dan ADHD.
Hilangnya Kemampuan Analitis – Generasi muda lebih mudah terpapar misinformasi karena kurangnya kemampuan verifikasi informasi.
Cara Mengatasi Brain Rot
Digital Detox – Batasi penggunaan media sosial maksimal 2 jam/hari.
Latih Deep Work – Habiskan waktu untuk aktivitas yang membutuhkan fokus penuh, seperti membaca buku atau bermain musik.
Gunakan Aplikasi Pembatas Waktu – Seperti Screen Time (iOS) atau Digital Wellbeing (Android).
Perbaiki Pola Tidur – Hindari gawai 1 jam sebelum tidur.
Kembali ke Aktivitas Fisik – Olahraga terbukti meningkatkan neuroplastisitas otak.
Generasi Digital Harus Sikapi Bijak
Brain rot adalah ancaman nyata bagi generasi digital. Meskipun tidak menyebabkan pembusukan otak secara fisik, kebiasaan buruk dalam menggunakan media sosial dapat mengubah struktur otak dan menurunkan kemampuan kognitif.
Solusinya adalah penggunaan teknologi secara bijak, disertai dengan aktivitas yang menstimulasi otak secara sehat.